Upaya Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Rendah Karbon Sulawesi Tenggara Melalui Rancangan Pasar Perdagangan Karbon Domestik

0
290
Ekosistem Mangrove di Sungai Marobo Muna dan Buton Tengah (DOK. Pribadi)

Kondisi Mangrove Sulawesi Tenggara

Indonesia merupakan negara yang mempunyai luas mangrove terbesar di dunia. Data nasional yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2021 menyebutkan bahwa total luas ekosistem mangrove di Indonesia sebesar 3,36 juta ha. Luas mangrove tersebut memberikan sumbangsih sebesar 23% dari total 15,2 juta ha mangrove di dunia (Jia et al. 2023; Leal & Spalding et al., 2023), dan 59,8 % dari total luas mangrove di kawasan Asia Tenggara (Gandhi & Jones 2019; Gerona-Daga et al., 2023).

Potensi ekosistem mangrove Indonesia tersebut, sedikitnya dikontribusikan oleh Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yaitu 1,97% atau 66.165 ha (PMN 2021). Berdasarkan data dari Global Mangrove Watch (2023) bahwa luas mangrove di provinsi Sulawesi Tenggara terus mengalami degradasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2020. Total degradasi mangrove mencapai 3704,49 ha dengan rata 246,97 ha per tahun. Degradasi tersebut secara umum disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi tambak, pemukiman, dan penebangan kayu (Rahman et al., 2020).

Di dalam konsep green economy, potensi ekosistem mangrove dapat dikelola sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi melalui manfaat penyerapan karbon. Pemerintah Indonesia telah memberikan perhatian yang serius terhadap eksistensi ekosistem mangrove di wilayah pesisir Indonesia. Selain karena nilai jasa ekologinya, juga karena potensinya dalam penyerapan karbon. Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai ekosistem karbon biru merupakan bentuk komitmen Pemerintah Indonesia terhadap target penurunan emisi GRK atau NDC sebesar 26 – 30% di tahun 2030. Melalui Kementerian PPN/BAPENAS, pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan ekosistem mangrove sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan rendah karbon, bahkan saat ini telah dicanangkan dalam peta jalan ekonomi biru tahun 2024 – 2045 (BAPENAS 2023).

Pencanangan ekosistem karbon biru sebagai bagian dari ekonomi biru tentu menjadi peluang bagi setiap kawasan pengelola ekosistem mangrove untuk terlibat aktif dalam skema perdagangan karbon. Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui siaran pers (SP 104/GKPB/OJK/VIII/2023) menjelaskan tentang mekanisme perdagangan karbon yang dapat dilakukan pada skema bursa karbon. Siaran Pers tersebut merupakan penegasan terhadap Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023 tentang perdagangan karbon melalui bursa karbon.

Upaya percepatan implementasi karbon dalam skema ekonomi biru semakin menunjukkan tren positif. Berbagai kolaborasi kelembagaan dalam pengelolaan mangrove makin menguat diantara lembaga atau kementerian terkait. Sebagai contoh, Presiden memberi mandat leader percepatan restorasi kepada Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), konservasi mangrove kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), dan estimasi karbon biru kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta mandat pengelolaan karbon biru pada skema ekonomi biru kepada PPN / BAPENAS.

Intergrasi kelembagaan tersebut tentunya akan berjalan efektif jika disinkronisasikan dengan kebijakan – kebijakan pada level provinsi, kabupaten/kota, bahkan desa sebagai pengelola pada skala lokal. Jika upaya penerapan pasar perdagangan karbon pada skala domestik atau pun nasional berjalan dengan efektif maka akan mampu menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional termasuk Provinsi Sulawesi Tenggara.

Mangrove Rhizopora (DOK. Pribadi)

Potensi Ekonomi Penyerapan Karbon Mangrove di Sulawesi Tenggara

Mengacu pada luasan ekosistem mangrove terkini, potensi simpanan karbon mangrove di Provinsi Sulawesi Tenggara mencapai 63,25 juta ton karbon (Mt C) yang terdiri dari 8,87 MtC (14,02%) pada tegakan mangrove atau above-ground carbon, 13,83 MtC (21,86%) pada below-ground carbon, dan 40,56 MtC (64,12%) pada karbon sedimen atau soil carbon. Potensi tersebut diestimasi berdasarkan rata – rata simpanan karbon global per hektar menurut Alongi (2014). Dengan pendekatan yang sama, potensi penyerapan karbon (CO2e) dapat diestimasi melalui perbandingan massa molekul CO2 (Mr = 44 gram/mol) terhadap massa  molekul C (Ar C  = 12 gram/mol).

Sehingga diperoleh nilai penyerapan karbon sebesar 231,93 Mt CO2e yang terdiri dari 32,51 Mt CO2e pada above-ground carbon, 50,70 Mt CO2e pada below-ground carbon, dan 148,72 Mt CO2e pada soil carbon. Nilai tersebut sangatlah potensial dalam upaya pemenuhan target NDC yaitu 26 – 30% sebagaimana yang telah dicanangkan pemerintah dalam upaya pembangunan rendah karbon (KLHK 2020).

Berdasarkan nilai potensi penyerapan karbon dan harga karbon per September 2023 dalam pasar karbon sukarela (Voluntary Carbon Market) yang diakses pada https://carboncredits.com/carbon-prices-today/, maka potensi ekonomi penyerapan karbon di Provinsi Sultra dapat mencapai 507,93 juta dolar atau Rp. 7,87 trilliun rupiah (harga karbon = 2.19 USD/ton dan kurs USD = Rp. 15.486,50).

Nilai ekonomi dari potensi penyerapan karbon tersebut lebih besar dibandingkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Sultra pada tahun 2022 yaitu 5,27 T (Bank Indonesia 2022). Sehingga, apabila pemerintah Sultra berhasil mewujudkan potensi penyerapan karbon tersebut dalam pasar perdagangan karbon, maka pertumbuhan ekonomi akan sangat membaik dan berdampak pada kemajuan pembangunan kota serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Strategi Penerapan Pasar Perdagangan Karbon

Sebagai upaya mendorong potensi penyerapan karbon mangrove untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Provinsi Sultra, maka ada dua rancangan perdagangan karbon yang diterapkan diantaranya yaitu perdagangan karbon skala domestik (Domestic Carbon Market / DCM) dan perdagangan karbon sukarela (Voluntary Carbon Market). Mekanisme perdagangan tersebut dapat diimplementasikan secara bersamaan apabila ditunjang oleh kebijakan atau peraturan yang sah baik berupa undang – undang maupun peraturan daerah.

1. Domestic Carbon Market (DCM)

DCM adalah mekanisme perdagangan karbon yang dilakukan dengan mengharuskan izin pembangunan suatu kawasan Industri atau Usaha untuk membayar kompensasi atas emisi yang mereka hasilkan. Bentuk kompensasi dapat dibayarkan dengan menanam sejumlah pohon yang potensi serapan karbonnya setara dengan jumlah emisi CO2e yang dihasilkan. Pada mekanisme ini, masyarakat pengelola atau penyedia bibit mangrove akan mendapatkan penghasilan melalui penjualan bibit kepada para stakeholder yang terlibat dalam pembayaran kompensasi emisi.

Konsep ini telah dengan sadar telah dipraktekan oleh PT. Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ). Pada tahun 2014, PHE ONWJ melakukan pembukaan sumur pengeboran minyak dan menghasilkan emisi sebesar 5.000 ton CO2e. Melalui emisi tersebut, PHE ONWJ dengan sukarela melakukan penanaman mangrove sebanyak 82.000 pohon di pesisir pantai Utara Jawa yang diestimasikan akan memiliki potensi penyerapan yang setara dengan emisi yang dihasilkan.

Pada mekanisme ini, masyarakat penyedia bibit telah mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 205.000.000 – 410.000.000 (estimasi harga per bibit Rp. 2500 – 5000). Di sisi lain, PHE ONWJ telah berkontribusi dalam peningkatan luas ekosistem mangrove 10 Ha dengan rata potensi serapan mencapai 16,67 ton CO2/ha/tahun. Potensu tersebut mengacu pada asumsi penyerapan restorasi mangrove menurut Arifanti et al. (2022).

Konsep ini tidak hanya mendukung pembangunan yang rendah karbon, tetapi juga meningkatkan potensi jasa ekosistem mangrove sebagai penghasil ikan, udang, kepiting, dan biota ekonomis lainnya yang menjadi target tangkapan nelayan dalam aktivitas mata pencaharian. Muali (2020) melaporkan bahwa kehilangan 1 Ha mangrove akan menurunkan hasil tangkapan nelayan sebesar 338,73 kg. Dengan demikian, penanaman mangrove seluas 10 Ha oleh PHE ONWJ pun akan berkontribusi pada peningkatan sumberdaya ikan sebesar 3,387 ton atau setara dengan Rp. 84.457.500, 00.

Secara teknis, mekanisme DCM ini pun dapat saja diimplementasikan melalui pajak karbon terhadap setiap pembangunan yang membutuhkan izin pemerintah propinsi. Pembangunan berupa kawasan industri, perhotelan, pusat – pusat perdagangan, atau perumahan dapat dibebankan pajak karbon dengan pendekatan potensi emisi per luasan area yaitu 300 ton CO2e/ha atau 0,03 ton CO2e per m2 dan biaya karbon sebesar Rp. 50.000 – 75.000/ton CO2e. Dengan pendekatan tersebut, maka setiap pembangunan kawasan misalnya dengan luas 1 ha, diwajibkan membayar pajak karbon sebesar Rp. 15 – 22,5 juta. Gambaran umum tentang mekanisme dan manfaat DCM dapat disajikan pada gambar 4 berikut.

Penerapan mekanisme DCM dapat dilakukan dengan menetapkan kebijakan pada level provinsi baik berupa Peraturan Gubernur (Pergub) maupun peraturan daerah (Perda) tentang pajak karbon dalam rangka pencapaian target NDC dan pembangunan rendah karbon. Regulasi tersebut pada dasarnya merupakan implementasi dari regulasi nasional yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dalam mendukung target penurunan emisi GRK sebesar 30% di tahun 2030.

2. Voluntary Carbon Market

Pada mekanisme ini, pemerintah Sultra harus mengajukan Sertifikasi Registrasi Nasional (SRN) kepada Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup terkait potensi penyerapan karbon mangrove. Setelah SRN diperoleh, maka pemerintah Sultra dapat memasarkan karbonnya pada pasar internasional melalui berbagai platform bursa karbon.

Pada tahun ini, OJK dalam tahap menyiapkan mekanisme perdagangan karbon dalam bursa saham yang dapat menjadi akses bagi perusahaan swasta atau pemerintah pemilik SRN untuk memasarkan karbonnya dalam mekanisme pasar karbon sukarela. Pasar karbon sukarela memang belum memiliki konsep yang matang dalam implementasinya, meski demikian hinggaa saat ini konsep tersebut dikembangkan agar dapat terimplementasi secara praktis dan efisien. Per hari ini, nilai ekonomi karbon pada pasar karbon internasional adalah 2.19 USD/ton CO2e (https://carboncredits.com/carbon-prices-today/). Jika pemerintah Sultra mampu memperoleh SRN dan menembus voluntary carbon market pada skala internasional, maka akan diperoleh peningkatan pendapatan hingga 7,87 Trilliun.

Kesimpulan

Rancangan pasar perdagangan karbon yang dapat diterapkan untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan rendah karbon di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah Domestic Carbon Market (DCM)  dan Voluntary Carbon Market (VCM). Penerapan DCM akan memberikan beberapa manfaat bagi masyarakat maupun pemerintah Sultra yaitu peningkatan pendapatan masyarakat berkisar Rp. 205 – 410 juta melalui penjualan bibit mangrove, peningkatan pendapatan daerah melalui pajak karbon dalam setiap pembangunan kawasan, dan penurunan emisi CO2 yang berkontribusi pada pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC).

Sementara itu, keterlibatan pemerintah Sultra dalam VCM akan meningkatan pendapatan daerah hingga mencapai Rp.7,87 Trilliun. Penerapan DCM dapat dilakukan dengan menetapkan peraturan gubernur atau peraturan daerah tentang pajak karbon dalam rangka pencapaian target NDC dan pembangunan rendah karbon, sedangkan penerapan VCM dapat dilakukan dengan mengajukan SRN pada KLHK dan masuk ke dalam bursa karbon pada pasar karbon internasional atau pada mekanisme yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (***)

*Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Essay FORKESTRA BANK INDONESIA 2023

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini