
MCNEWSULTRA.ID, Jakarta – Pemerintah terus mengejar target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk menurunkan prevalensi perokok usia 10-18 tahun dari 9,1 menjadi 8,7 persen pada 2024 mendatang.
Misi ini tampaknya pula harus dibarengi dengan keseriusan pemerintah untuk terus mengawasi harga cukai rokok di pasaran yang masih terjangkau bagi generasi muda.
Analis Kebijakan Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Wawan Juswanto menerangkan, pemerintah secara serius berupaya mencapai target penurunan prevalensi merokok anak yang tercantum di RPJMN 2020-2024.
Khusus untuk kebijakan harga transaksi pasar (HTP), lanjut Wawan, memang telah diubah sejak tahun 2017 lalu dengan pengaturan batasan penjualan rokok 85% dari harga jual eceran (HJE).
“Tujuan dari pembatasan 85% ini adalah untuk mengendalikan konsumsi agar harganya tidak terlalu murah di pasaran. Selain itu ada persaingan sehat pada perusahaan, untuk menghindari predatory pricing oleh perusahaan besar terhadap pabrik golongan menengah dan bawah,” ujar Wawan dalam webinar Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok yang diselenggarakan oleh KBR Indonesia secara virtual, Senin (29/3/2021).
Sayangnya, menurut Adi Musharianto Peneliti dari Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan ada kontradiksi pada kebijakan minimum 85% yang ditetapkan Kementerian Keuangan tersebut.
Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai (Perdirjen BC) Nomor 37 tahun 2017 yang direvisi menjadi Perdirjen BC Nomor 25 tahun 2018 justru dalam lampiran metode pengawasannya memberikan ruang bagi perusahaan rokok untuk menjual rokok lebih rendah dari aturan di PMK 198/2020 (kurang dari 85%).
Asalkan didistribusikan kurang dari 50% atau sekitar 40 area Kantor Bea Cukai (KPPBC) di seluruh Indonesia yang melakukan pengawasan.
“Dari awal kita sudah lihat ada kontradiksi antara PMK dan Perdirjen terkait memperbolehkan HTP di bawah 85%. Saya sepakat bisalah ya penjualan di 40 kota dilakukan perubahan. Intinya perlu ada peninjauan atau evaluasi,” ujarnya.
Sejalan dengan pernyataan Adi, Analis kebijakan madya Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, Rama Prima Syahti Fauzi mengatakan, mendukung adanya tinjauan dan evaluasi atas pengecualian 40 area KPPBC ini.
Ia menjelaskan dampak dari tidak sesuainya HTP dengan HJE menyebabkan harga rokok tetap terjangkau sehingga pengendalian konsumsi tidak optimal untuk menurunkan prevalensi merokok.
“Harusnya memang dibarengi dengan sanksi kalau ada perusahaan menerapkan penjualan kurang dari 85%. Sanksinya harus diperjelas dan dipertegas, memang harus diperketat untuk menghindari predatory pricing juga,” jelasnya.
Untuk itu, ia menyarankan bahwa pengecualian wilayah untuk penjualan rokok di bawah 85% HJE sebaiknya diperkecil saja.
“Selain itu, tidak akan efektif kalau tidak ada sanksinya bagi perusahaan yang melanggar, maka pengawasan harus dipertegas,” ujarnya.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Risky Kusuma Hartono mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi pemerintah mengimplementasikan batasan 85% HJE.
“Ini harus diterapkan kepada seluruh produk rokok sehingga bisa menekan konsumsi rokok guna menyukseskan RPJMN 2020-2024,” ujarnya.
Berkaca pada negara padat penduduk seperti China dan India, Indonesia juga menjadi potensi pangsa pasar rokok besar yang terbukti dari prevalensi perokok aktif terus meningkat.
“Maka upaya yang perlu dilakukan adalah menurunkan prevalensi, caranya meningkatkan HJE minimum, meningkatkan CHT, dan simplifikasi struktur CHT,” ujarnya. (rls)
Laporan : Juhartawan