ISTILAH new normal atau kenormalan baru mungkin tak asing lagi di telinga sebagian orang. Terminologinya secara eksplisit sudah jelas dan tegas yaitu menerapkan tatanan hidup baru, ada pembiasaan dari hal yang tidak biasa dan sebagainya. Kira-kira kurang lebihnya begitu maksudnya.
Bicara penerapannya, pemerintah daerah diberi ruang ambil kebijakan sendiri. Cuma Presiden Joko Widodo berpesan jangan buru-buru. Kalkulasinya mesti matang, tetap pasang ‘rem darurat’ jaga-jaga skema penerapan bablas alias di luar kendali.
“Tatanan baru tersebut harus dilakukan dengan hati-hati merujuk pada data-data dan fakta lapangan, datanya sekarang kita ada, komplit semuanya,” pesan Presiden Jokowi pada semua pemerintah daerah.
Detailnya pesan Presiden, semua pemda wajib penuhi lima syarat. Pertama, Prakondisi yang ketat yaitu pemda harus memastikan masyarakat sudah kembali beraktivitas, tetap gencar sosialisasi protokol kesehatan produktif dan aman COVID-19, gunakan pendekatan simulasi yang baik dan inovatif. Semua prakondisi itu harus optimal terlaksana di lapangan.
Kedua, Kalkulasi waktu yang tepat, pemda mesti mengkaji dulu data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nasional untuk memperhitungkan kapan bisa memulai fase new normal.
Fokusnya perkembangan data epidemologi, kepatuhan masyarakat, manajemen dan kesiapan fasilitas kesehatan guna pengujian spesimen dan pelacakan yang agresif.
Lalu ketiga, kenormalan baru bertahap. keran kebijakan itu jangan dibuka sekaligus pada semua rana aktivitas masyarakat. Perhitungkan kesiapan semua sektor guna menjaga potensi gelombang kedua pandemi COVID-19.
Terkait syarat ketiga tersebut ada sembilan sektor aktif kembali tetapi terikat protokol kesehatan meliputi pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik dan transportasi barang.
Keempat, Perkuat Koordinasi Pusat dan Daerah, pemda mesti memeperkuat koordinasi penanganan covid-19 mulai dari tingkat tertinggi di Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) hingga ke tingkat desa, RT dan RW.
Dan terakhir, Evaluasi, pemda harus melakukan evaluasi secara rutin untuk memperbaharui informasi terkini terkait penanganan covid-19, jika penerapan new normal justru meningkatkan lagi kasus di daerah tersebut, maka Pembatasan Sosial Berskala Besar harus kembali dilakukan.
Dinamika Kasus di Sultra
Populasi penduduk Sultra cuma 2,6 juta jiwa. Jumlah itu tentu sedikit, kalah jauh malah dengan jumlah penduduk Kota Surabaya yang populasinya lebih dari 3,2 juta jiwa. Tetapi bicara kasus pandemi Covid-19, Sultra juga punya dinamika, meski eskalasi kasus tidak seheboh daerah lain.
Total kasus positif Covid-19 Sultra cuma separuh dari total jumlah kasus di Provinsi Sulawesi Utara yang lebih 600-an. Bahkan, 10 kali lipat dari Provinsi Sulawesi Selatan. Corona Virus Disease, itu wabah menular dengan cepat dan meluas di tataran geografis.
Cukup serius karena buktnya Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang tentang Penetapan Bencana Nonalam Covid-19. Extraordinary, kejadian luar biasa.
Muncul kebijakan refocussing anggaran guna membereskan kasus corona. Lumayan besar anggaran secara nasional, bengkaknya sampai Rp 677 triliun. Di Sultra setelah mengalami beberapa kali revisi jatuhnya di angka Rp 400 miliar. Kontroversi ada, itu normal dalam kerangka mencapai tujuan lebih baik.
Kabupaten maupun kota juga sama, mereka siapkan anggaran penanangan Covid-19, cuma kisarannya di bawah Rp 80 miliar. Itu pun sudah pangkas kiri kanan, program strategis dominan ‘diparkir’ dulu. Semuanya satu kata, bereskan Pandemi Covid-19.
Hasil kerja jajaran Gugus Tugas Covid-19 se Sultra lumayan bagus. Sejak puncak pandemi bulan maret lalu, kumulatif kasus konfirmasi positif berkisar 300-an kasus dengan tingkat kesembuhan mencapai 64 persen.
Pasien dalam perawatan isolasi maupun karantina hingga saat ini cuma 100-an orang, bahkan pernah puluhan saja. Progress kesembuhan angkanya kian hari membaik. Sejak awal pandemi, Gubernur Sultra Ali Mazi langsung menerapkan status siaga bencana, semua energi baik pikiran, tenaga dan waktu ditumpahkan ke penanganan wabah.
Meski jumlah penduduk Sultra sedikit, manusiawi Ali Mazi juga agak khawatir jangan sampai menerima ‘impor’ pengidap corona dari luar.
Maklum menekan risiko penularan corona masih bersifat debatable, penafsiran banyak namun akurasinya masih relatif. Dominan banyak melesetnya kira-kira.
Jajaran gugus tugas baik provinsi, kabupaten maupun kota bahu membahu bekerja sepenuh waktu. Ali Mazi juga merangkul semua unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), tokoh masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa, perguruan tinggi dan basis-basis komunitas masyarakat bekerja menangani dampak Covid-19.
Selain itu guna mendukung optimal kegiatan survailans dan skrining medis, pemprov juga telah menyebar puluhan ribu alat rapid test ke semua wilayah di Sultra. Tujuannya menekan laju penyebaran wabah.
Masyarakat terdampak pandemi juga mendapat bantuan besar-besaran. Semua kepala daerah bahkan terlibat turun lapangan mendistribusikan bantuan ke wilayah yang aksesnya sangat sulit.
Pada 5 Juni 2020 lalu akhirnya Gubernur Sultra Ali Mazi memutuskan menerapkan kebijakan new normal. Semua ASN berusia di bawah 45 tahun bisa kembali bekerja seperti biasa dengan tetap mengedapankan protokol kesehatan. Artinya, gubernur ingin membangun optimisme baru di tengah Pandemi Covid-19.
Pendekatan new normal di Sultra cukup persuasif karena tanpa ada sanksi atau denda tilang bagi pengendara yang melanggar aturan protokol kesehatan. Sebagian kepala daerah kabupaten dan kota langsung bergerak melakukan prakondisi di semua sektor.
Pemprov Sultra intens mematangkan prakondisi persiapan penerapan new normal secara total. Prosesnya bertahap mulai di lingkungan pemerintah daerah, lalu dunia usaha, pusat kegiatan sosial keagamaan masyarakat.
Tersisa lingkungan pendidikan yang masih menunggu karena berkenaan dengan kelender akademik atau tahun ajaran baru.
Namun skema berbasis protoko;l kesehatan dalam kegiatan PBM sudah disiapkan seperti menyalurkan bantuan unit wastafel portable, masker dan lainnya untuk semua sekolah setingkat menengah atas.
Penerapan new normal dilakukan bertahap meski eskalasi kasus pandemi tidak separah daerah lain, namun secara kualitas penyebaran tetap menjadi konsen pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Pertimbangannya, Pertama, kondisi angka kasus positif baru Covid-19 di wilayah Sultra masih tergolong dinamis, nyaris setiap hari penambahan kasus baru tetap ada. Ini menunjukkan tingkat pandemi wabah masih sangat serius dan rentan.
Kedua, metode penyebaran wabah teranyar relatif sulit teridentifikasi hulunya atau asal muasalnya. Gugus tugas menyebutnya klaster sporadis. Klaster ini ibarat kita menghadapi musuh seribu bayangan.
Yang bisa terungkap gugus tugas dan berhasil ditekan penyebarannya hanya bersumber dari klaster fenonemal kalau istilah penulis seperti klaster Sukabumi, Magetan, ijitmah keagamaan Gowa, semuanya dari luar. Lalu dari dalam ada klaster KM Dorolonda dan KM Ngapulu.
Tetapi mendeteksi pergerakan klaster sporadis, gugus tugas hanya bisa mengimbau terus menerus agar masyarakat patuh pada aturan protokol kesehatan seperti disiplin pakai masker, rajin cuci tangan menggunakan hand sanitizer, jarak jaga aman dan sebagainya.
Yang ketiga, secara nasional rasio uji spesimen di Indonesia masih rendah. Data worldmeter mencatat terdapat 1.752 tes dari setiap satu juta orang di Indonesia.
Menurut data WHO (World Health Organization), angka penularan virus, atau ‘reproduction rate’ (RO) Corona di Indonesia adalah 2,5. Artinya satu penderita bisa menulari 2,5 orang.
Gerakan Migitasi Mandiri
Kita sudah memasuki penerapan new normal, setidaknya untuk di wilayah Sultra. Masa new normal bukan berarti kembali hidup seperti biasa. Masyarakat diberi kebebasan oleh pemerintah aktif lagi dalam kegiatan rutinitas, cuma pola hidupnya sudah berbeda.
Di balik penerapan new normal itu penulis memberikan stressing berpikir yaitu, Pertama, hingga saat ini pemerintah pusat belum mencabut status pandemi, Regulasi Keppres No 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Covid-19 masih ada.
Itu isyarat bahwa meski ‘bebas’ kembali beraktivitas, tetapi masyarakat tetap mawas diri dan sebisa mungkin melakukan upaya gerakan migitasi mandiri.
Masyarakat jangan sampai terlena dan menganggap pandemi Covid-19 sudah selesai. Skenario new normal tersebut sangat mungkin menjadikan masyarakat merasa aman dan terkelabui, sehingga potensi perburukan kondisi semakin parah. Bisa dicatat kasus konfirmasi positif yang terdata di Sultra terdapat 2-3 kasus ternyata berdomisili di luar Sultra.
Lalu dari sisi penyebaran kasus-kasus baru bermunculan karena kontak erat dengan sejumlah kasus sebelumnya. Itu terdeteksi dari hasil pemeriksaan spesimen massal dan bisa diungkap. Berarti ada potensi kasus lain yang belum sempat atau tidak teridentifikasi karena keengganan sebagian masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan rapid test massal.
Lalu Kedua, jajaran pemerintah daerah dengan dukungan gugus tugas tetap meningkatkan pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran aturan protokol kesehatan. Gugus Tugas nasional menyebut ada tiga lokasi titik rawan penyebaran Covid-19 yaitu di lingkungan kantor pemerintah maupun swasta, pusat jajanan makanan (restoran, warung makan, kantin) dan terakhir transpotasi massal.
Untuk itu pemerintah daerah di Sultra harus membentuk satuan tugas pengawas protokol kesehatan semua titik lingkungan tadi. Proses kerja pengawasan bisa dilakukan dengan patroli, menggunakan teknologi CCTV atau pendekatan yang kesemuanya mendukung upaya memutus mata rantai pandemi.
Yang terakhir, pemerintah juga mengintensifkan evaluasi berjalan saat penerapan new normal di semua sektor, tetap membuat rumusan skema alternatif protokol kesehatan.
Gunanya sebagai rem darurat mengantisipasi bila sebuah kebijakan ternyata tidak efektif atau justru tidak mampu menekan munculnya klaster-klaster baru pandemi. Yah, target setidaknya potensi second-wave Covid-19 jauh-jauh hari bisa diredam di Sultra. (***)
Penulis :
Pengajar STIK Avicenna Kendari
Anggota KAHMI Sulawesi Tenggara