Oleh : MUHAMMAD FAJAR HASAN
Leiden is Lijden – memimpin adalah menderita. Begitu pepatah kuno Belanda yang dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita. Tak ayal prinsip inilah yang dijiwai The Founding Father Haji Agus Salim. Lika-liku jejaknya adalah keteladanan. Integritasnya terpuji harum semerbak, sepanjang perjalanan bangsa. Sebuah inspirasi bagi generasi penerus.
Jika memimpin adalah menderita, kepemimpinan adalah ujian. Sebaik-baiknya ujian adalah terus dihadapi. Bukan dihindari, apalagi ditakuti. Semua manusia punya potensi menjadi yang terbaik bagi dirinya, juga bagi orang lain.
Pada galibnya, semua manusia adalah pemimpin. Meskipun toh kenyataannya tidak semua punya jiwa kepemimpinan. Kita terlahir sebagai pemimpin di dunia ini. Dari lingkup organisasi maupun lingkup kecil keluarga tersayang atau dalam lingkup yang lebih kecil lagi, diri kita pribadi. Kita selalu dituntut tampil dengan baik sebagai seorang pemimpin. Pemimpin yang bisa mengayomi, melindungi dan menjadi teladan bagi orang yang dipimpinnya.
Hantaman Pandemi Covid-19 yang melanda dunia adalah cobaan bagi tiap-tiap pemimpin. Suatu keadaan yang tak terduga secara drastis memporak-porandakan kestabilan perekonomian dan pembangunan di semua teritori – organisasi. Apakah itu Negara, perusahaan maupun rumah tangga. Semua mengeluh susah. Ancaman mengintai kapan saja. Bukan Cuma penghasilan yang terjepit. Nyawa bahkan terancam.
Dalam menghadapi itu semua, jiwa kepemimpinan menjadi teruji. Memiliki kualitas yang baik dalam memimpin dan menginspirasi memang menjadi tantangan nyata. Pilihan berbagai kebijakan harus diletakkan pada kesanggupan para pemimpin mengorbankan kepentingan sempit diatas kepentingan orang banyak. Sebab tak sedikit orang diuntungkan dengan adanya Pandemi ini. Di sisi lain tak sebanding dengan banyaknya yang terancam kehidupannya.
Kata kunci dalam memimpin di tengah Pandemi adalah inovasi. Esensinya adalah perubahan. Perubahan kerap membuat kita ketakutan. Sebab ia akan membawa kita meninggalkan zona nyaman untuk masuk ke dalam kawasan-kawasan baru yang sering tidak kita ketahui sama sekali.
Sudah menjadi hukumnya, bukanlah yang terkuat, melainkan yang mampu beradaptasi adalah yang memenangkan kehidupan. Sebagaimana teori survival of the fittest yang dibangun Charles Darwin (1809-1882).
Seorang pemimpin harus jeli melihat tantangan untuk menciptakan inovasi-inovasi penting. Bagaimana hal itu diubah menjadi peluang.
Tak bisa dipungkiri, banyak orang mengerti bahwa apa yang dimaksud inovasi adalah perubahan kebijakan. Bahkan hanya soal perubahan struktur, aturan saja. Padahal substansi dari itu semua sangat bergantung pada manusianya sendiri.
Mindset perubahan hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki jiwa kepemipinan. Bukan jiwa bos. Inovasi bukanlah melawan kodrat alam. Sebagaimana melawan Pandemi. Esensi kehidupan adalah keseimbangan struktur.
Keberadaan pandemi adalah ancaman yang nyata. Namun bukan harus terus dihindari. Melainkan ditemukan caranya untuk menyeimbangkan bahkan menghilangkan resiko ancamannya terhadap kehidupan manusia.
Saat ini semua pemimpin berupaya melawan Pandemi. Padahal kita hanya butuh berdamai dengan Pandemi. Bagaimana menyesuaikan diri kita, rumah kita, perusahaan kita bahkan Negara kita untuk menghadapi keadaannya.
Penyesuaian ini butuh STOP. Yakni, Sit, Thinking, Observation and Planning. Kita perlu duduk sementara untuk berpikir, memecahkan masalah dan merencanakan hal-hal hebat. Semua dibarengi dengan optimisme. Yakinlah, tak ada yang tak bisa kita lewati tanpa itu semua.
Terakhir, saya ingin menyampaikan terima kasih banyak. Buat 7 Media Asia yang telah mendaulat saya sebagai The Best Figure of The Year 2020-2021 – Indonesia’s New Hope. Penghargaan ini menjadi motivasi bagi saya untuk menjadi lebih baik lagi. Bagaimanapun esok akan berjalan, kita harus optimis dan bekerja keras untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. (**)