MCNEWSULTRA.ID, Kendari – Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara Irjen Pol Yan Sultra Indrajaya setuju untuk segera membuat pedoman peliputan aksi unjuk rasa bagi jurnalis dan polisi. Tujuannya menghindari kesalahpahaman antara polisi dan jurnalis saat bertugas pada kasus unjuk rasa.
“Buku pedoman peliputan aksi unjuk rasa agar segera bisa disusun,” pinta Yan Sultra dalam acara silaturahmi jajaran kepolisian daerah Sultra dengan pimpinan organisasi media di Aula Polda Sultra, Sabtu (20/3/2021)
Selain Kapolda Sultra, hadir Wakapolda Sultra Brigjen Pol Drs. Waris Agono, M.Si, Kapolres Kendari AKBP Didik Erfianto dan sejumlah pejabat lain.
Sedangkan dari pihak organisasi media hadir Ketua PWI Sultra Sarjono, Ketua AJI Kendari Rosnawati dan Sekretaris IJTI Sultra, Ketua AMSI Sultra M Djufri Rachim, Ketua SMSI Sultra Gugus Suryaman, dan Ketua JMSI Nasir Idris.
Pertemuan itu dilatarbelakangi oleh insiden pemukulan terhadap jurnalis Harian Berita Kota Kendari, Rudinan (31) yang diduga dilakukan oleh oknum anggota Polres Kendari pada saat pengamanan aksi unjuk rasa di Kantor Balai Latihan Kerja (BLK) Kendari, Kamis lalu (18/3/2021).
Baik Kapolda, Wakapolda maupun Kapolres Kendari telah meminta maaf secara terbuka atas insiden pemukulan terhadap jurnalis tersebut.
“Atas nama institusi Polri Polda Sultra dan pribadi menyampaikan permohonan maaf atas insiden oknum anggota dengan wartawan beberapa hari lalu,” kata Yan Sultra mengawali acara dialog dengan pimpinan organisasi media.
Yan Sultra menjelaskan, setelah mengetahui ada insiden pemukulan wartawan maka langsung memerintahkan kepada Propam Polda Sultra untuk mengambil alih penanganan kasus tersebut.
Kabid Propam Polda Sultra, Kombes Pol Prianto Teguh Nugroho, menjelaskan pihaknya telah memeriksa sebanyak 7 anggota polisi yang bertugas saat penanganan aksi unjuk rasa di BLK Kendari.
Dari ketujuh polisi itu, 4 diantaranya sebagai saksi dan 3 sebagai terlapor. Selain itu ikut diperiksa seorang saksi lain dari pihak security BLK Kendari.
Sementara korban, Rudinan diharapkan bisa kooperatif untuk dimintai keterangan oleh polisi penyidik. Demikian pula kepada jurnalis yang melihat atau merekam kejadian dugaan pemukulan itu agar bersedia menjadi saksi.
“Tidak menutup kemungkinan kasus tersebut jika memenuhi unsur untuk ditindaki sebagai tindak pidana umum, selain proses penyelidikan pelanggaran kode etik dan protap kepolisian terkait penanganan aksi massa,” katanya.
Pemimpin Redaksi harian Berita Kota Kendari (BKK) Mahdar Tayyong mengatakan, kekerasan yang diterima wartawannya harus diusut tuntas.
Fenomena kekerasan terhadap jurnalis agar tidak terulang lagi, menjadi komitmen semua pihak. Baik jajaran pimpinan Polda Sultra maupun pimpinan organisasi media di Sultra.
Untuk itu, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wilayah Sultra, M Djufri Rachim, dalam kesempatan itu menawarkan kepada Kapolda Sultra agar dapat disusun pedoman peliputan aksi massa.
Dengan demikian, polisi yang bertugas di lapangan mengetahui dan mengenali kerja-kerja jurnalis saat melakukan peliputan, demikian pula sebaliknya jurnalis dapat memahami wilayah kerja kepolisian saat mengamankan aksi massa.
Jurnalis perlu diperkenalkan situasi “Hijau”, “Kuning” dan “Merah” menurut versi kepolisian dalam suatu aksi massa. Pada setiap indikator itu, dimana poisisi jurnalis supaya aman saat meliput.
“Kira-kira itu antara lain isi buku pedoman yang akan disusun tersebut,” kata Djufri yang juga Pemimpin Redaksi SultraKini.com kepada media ini.
Menurut Dosen Jurnalistik pada FISIP Universitas Halu Oleo ini, pedoman peliputan unjuk rasa akan memuat dua sisi. Satu sisi mengenai aturan dan protap kepolisian di lapangan.
“Misalnya sebelum diterjunkan ke lapangan maka pimpinan mengingatkan kembali anak buahnya agar mengenal dan mengamankan jurnalis di lapangan, serta jangan ada tindakan kekerasan terhadap siapa pun karena itu pelanggaran HAM,” jelasnya.
Dari sisi jurnalis, harus patuh dan mengerti situasi yang dimintakan oleh aparat. Misalnya, jurnalis dilarang memasuki area tertentu karena pertimbangan keselamatan jiwa.
Bahkan, kata wartawan senior ini, jika perlu jurnalis yang akan meliput aksi unjuk rasa saat di TKP sebaiknya jangan berpencar, berkumpul menghitung berapa jumlah jurnalis dan dari media mana saja.
“Kalau perlu tunjuk satu korlip saat itu, lalu sampaikan kepada pimpinan polisi yang ada di lapangan bahwa jumlah jurnalis sebanyak sekian orang, tolong ikut diamankan,” usulnya.
Penyusunan pedoman peliputan aksi massa itu pun secara teknis akan diatur oleh Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Ferry Walintukan. Ia akan mengundang beberapa pimpinan organisasi media untuk membahas perintah Kapolda itu.
Selain, penyusunan pedoman aksi unjuk rasa, dialog yang berjalan sekitar dua jam tersebut mencuat pula gagasan untuk diselenggarakan pelatihan aman meliput pada situasi beresiko bagi jurnalis, serta literasi tentang UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik bagi anggota polisi, termasuk pada calon polisi yang sedang ikut pendidikan di SPN.
Ketua PWI Sultra Sarjono mengajak pemilik perusahaan media untuk mendidik para jurnalis paham tentang kode etik dan implementasi UU Nomor 40/1999 tentang pers.
Ketua AJI Kendari Rosnawati menyayangkan tingginya angka kekerasan yang menimpa wartawan dari kalangan aparat kepolisian.
“Kalangan pers dan kepolisian mesti mencari konsep tepat mengantisipasi terus berulang-ulangnya kekerasan yang menimpa awak media. Memprihatinkan,” kata wartawan Tempo tersebut. (***)
Reporter : Juhartawan