Terinsipasi dari buku Judith Bardwick, berjudul The Dangers of the Comfort Zone, awal mula dia memaknai zona nyaman tidak bersifat deterministik untuk sebuah kesuksesan. Ibaratnya, seekor burung dalam sangkar hanya dipelihara bertahun-tahun, diberi makan, dijemur dan seterusnya.
Begitu sangkar dibuka, ternyata sebatas memilih terbang tak jauh dari sangkarnya, meski di luar sana menawarkan beragam makanan sedap. Ironi, Burung itu terjebak zona nyaman. Bila konotasinya orang, mereka terperangkap dalam pikiran delusional.
JOEHARTAWAN, Makassar
Meski terbilang sukses dalam dunia karir pekerjaan, tak cukup memberi kepuasan Ardiansyah Goeliling melihat semua itu sebagai capaian optimal. Sukses dunia karir kerja, baginya belum masuk pencapain, tetapi cuma melakoni satu fase dalam segudang potensi proses.
“Kekeliruan berpikir kita selama ini, ketika sudah meraih tangga demi tangga dalam karir, artinya sudah label sukses. Belum apa-apa itu, masih jauh dari filosofi kesuksesan sesungguhnya,” tutur Ardiansyah Goeliling.

Bapak dua anak itu sendiri memilih terus belajar di dunia pendidikan formal, kendati kesibukan sebagai Financial Controller di Harper Perintis Hotel Makassar relatif menyita waktu.
Di bidang pendidikan, teranyar, pria kelahiran Makassar 31 Desember 1984 baru saja meraih gelar Doktor Pendidikan Ekonomi di Universitas Negeri Makassar dengan predikat nilai Cumlaude.
Capaian itu digapai karena kesadaran bahwa pengetahuan dan pengalaman belum cukup kalau tidak didukung kematangan pola pikir. Dengan pola pikir pasti membuka ruang seseorang berkembang tanpa batas.
Disertasinya mengupas seputar Analisis Kompetensi, Komitmen dan Motivasi Kerja Melalui Self Efficacy Terhadap Kinerja Karyawan Hotel Group Archipelago International di Kota Makassar.
“Memilih lokus riset di lingkup perhotelan karena selaras dengan pekerjaan yang sudah saya geluti selama 14 tahun. Kalau bicara observasi sih jauh sebelum menyusun disertasi itu,” katanya.
Selebihnya, Ardiansyah berkecimpung sebagai dosen praktisi di beberapa perguruan tinggi. Di antaranya Universitas Udayana, Poli Teknik Pariwisata Makassar, Universitas Indonesia Timur dan lainnya.
Motivasi Tinggi
Motivasinya untuk terus belajar dan berkembang di rana pendidikan bukan tanpa alasan. Pertama, Dulu sebagian orang memandang dirinya sebagai produk yang gagal. Artinya, cenderung tumbuh sebagai manusia yang tidak berguna.

“Saya pernah dicap sebagai produk gagal, dulu memang saya terjebak dengan perilaku yang sedikit kelam, bahkan cenderung menyimpang sehingga disebut tak punya potensi masa depan lebih baik,” tuturnya.
Kedua, Kesadarannya atas pendidikan juga terinspirasi dengan penilaian Dr I Gede Arya Pering Arimbawa, pimpinannya saat dia bekerja di Aston Makassar Tahun 2012. Baginya, sosok I Gede Arya bukan hanya seorang pimpinan, tetapi juga seorang mentoring yang punya fighting spirit soal capaian hidup.
“Kala itu dia melihat saya sebagai personal yang potensi bisa berkembang lebih matang. Pak I Gede Arya menyarankan saya untuk terus sekolah hingga meraih gelar tertinggi. Masukan beliau sangat mengubah paradigma berpikir saya dalam mengemas target hidup,” tandas Ardi – sapaan akrab-.
Yang ketiga, kata dia, adalah pesan almarhum bapak yang menegaskan kalau ingin mengubah hidup lebih baik, maka tempuh pendidikan sampai ke jenjang tertinggi. Kalau sebatas pendidikan rendah, belum ada nilai tawar kompetitifnya.

“Kan ada Sabda Nabi Muhammad yaitu ketika Nabi Sulaiman disuruh memilih harta benda, kerajaan atau ilmu, beliau memilih. Ujungnya dia diberi harta benda dan kerajaan karena ilmu. Kerajaan itu metafora karir dan harta benda itu insentif finansial,” jelasnya.
Bergelut di rana perguruan tinggi bukan sebatas cari kesibukan bagi Alumni Program Magister Universitas Bosowa itu. Dia tertarik pada satu ungkapan yaitu Masalah terbesar seorang seniman adalah bagaimana caranya menarik perhatian.
“Kenapa sebagian orang sulit mendapat pekerjaan, padahal dulu tergolong mahasiswa pintar dengan setumpuk capaian prestasi akademik. Jawabnya cuma satu, punya karya, tetapi dipendam sendiri,” tandasnya.
Menurutnya, kehebatan seseorang bukan diukur dari standar kejeniusan, tetapi memiliki kemampuan personal membangun interaksi dalam beragam komunitas.
“Jadi orang hebat lahir karena Scenius, kalau cuma genius belum cukup. Orang hebat bisa besar karena support system lingkungan, bukan cuma hasil keringat sendiri,” tegasnya.
Sejak awal Ardiansyah mengaku tak ingin terkungkum dalam kehidupan zona nyaman, sebagian orang menyebut kedamaian hidup. Namun dia menampik istilah keluar dari Comfort Zone adalah lepas dari zona kesulitan, risiko atau konflik.

“Kehidupan penuh kesulitan dan konflik itu normatif, siapa pun atau di mana pun pasti itu ada. Yang saya maknai zona nyaman adalah zona yang terjebak siklus rutinitas, tidak ada kecemasan dan cenderung menghindari risiko,” katanya.
Saat ditanya ke depan memilih tetap menggeluti dunia perhotelan atau memilih tantangan baru di dunia kampus ? “Kalau Allah merestui saya akan memilih ilmu tanpa perlu memikirkan karir dan finansial semata,” tukasnya diplomatis. (***)