Oleh: Andi Muhammad Hasgar AS., S.H., M.H.
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan 2024)
Bumi yang Merintih, Konstitusi yang Terlupakan
Setiap 22 April, dunia memperingati Hari Bumi—sebuah momen global untuk merefleksikan relasi kita dengan lingkungan. Namun, perayaan ini kian terasa sebagai seremoni kosong, terutama di tengah deru mesin, penebangan hutan, udara yang memburuk, dan ekosistem yang runtuh pelan-pelan.
Di Indonesia, potret ekologis itu nyata: sungai menghitam, hutan adat terpinggirkan, dan masyarakat kecil terhempas oleh arus pembangunan yang tak berkelanjutan.
Ironisnya, Indonesia memiliki konstitusi yang sejatinya memuat amanat ekologis yang kuat. Pasal 33 UUD 1945—sering kali hanya dibaca dari kacamata ekonomi—sesungguhnya menyimpan semangat transformatif tentang pengelolaan sumber daya alam.
Frasa “dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” bukan sekadar formula legalistik, melainkan refleksi dari filsafat hidup yang menempatkan alam sebagai bagian tak terpisahkan dari keadilan sosial.
Namun, dalam praktik, ruh konstitusi ini nyaris tak terdengar. Ia tereduksi menjadi dalih atas eksploitasi, alih-alih sebagai landasan etika ekologis dan keberlanjutan.
Pasal 33: Dari Eksploitasi Menuju Emansipasi Alam
Seringkali, “penguasaan oleh negara” ditafsirkan secara sempit: negara sebagai pemilik, bukan sebagai penjaga amanah. Bung Hatta—salah satu arsitek konstitusi—telah menekankan bahwa penguasaan oleh negara mencakup perlindungan, pengaturan, dan pengelolaan yang adil.
Maka, jika negara hanya bertindak sebagai operator ekonomi tanpa etika, kita telah menistakan semangat konstitusi itu sendiri.
Kini, saat kita menghadapi krisis iklim, deforestasi, dan ketimpangan ekologis, Pasal 33 harus dibaca ulang dengan lensa baru. Bukan sebagai pasal legitimasi eksploitasi, melainkan sebagai fondasi etis untuk keadilan ekologis—di mana negara berkewajiban melindungi alam sebagai sumber kehidupan, bukan sekadar sumber daya.
Spirit Transendental: Alam sebagai Subjek Relasi, Bukan Objek Eksploitasi
Kita memerlukan pendekatan transendental dalam menafsirkan konstitusi. Perspektif ini bukan hanya legal-formal, tetapi spiritual dan filosofis.
Dalam banyak kearifan lokal di Nusantara, seperti prinsip “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak” milik masyarakat Baduy, atau nilai Tri Hita Karana dalam Hindu Bali, kita diajak melihat alam bukan sebagai komoditas, tetapi sebagai mitra kehidupan.
Dalam Islam, bumi adalah amanah; dalam falsafah Jawa, alam adalah guru. Semua ini mengajarkan bahwa relasi manusia dan lingkungan bukan relasi kuasa, tapi relasi tanggung jawab dan keseimbangan. Perspektif ini semestinya menjadi dasar dalam menafsirkan Pasal 33—bahwa pengelolaan kekayaan alam adalah tugas moral dan spiritual, bukan hanya kalkulasi untung rugi.
Hari Bumi: Momentum Refleksi dan Kesadaran Baru
Hari Bumi bukan hanya pengingat akan krisis, tetapi juga ajakan untuk menghidupkan kembali kesadaran konstitusional yang holistik. Konstitusi bukan sekadar teks hukum, tetapi perwujudan nilai-nilai kebangsaan.
Jika ingin menyelamatkan bumi, kita tak bisa bertumpu pada hukum yang kering dan kebijakan yang kehilangan dimensi nilai. Kita butuh lompatan kesadaran: menghidupkan nilai spiritual, etika lingkungan, dan penghormatan terhadap kehidupan dalam setiap kebijakan negara.
Penutup: Menghidupkan Konstitusi, Menjaga Bumi
Konstitusi hanya akan bermakna jika kita hidup di dalamnya. Maka, sebagai warga negara, kita punya tanggung jawab untuk menjadikan konstitusi sebagai panduan moral dalam berelasi dengan alam. Hari Bumi adalah momen untuk bertanya: apakah kita bagian dari solusi, atau justru bagian dari kerusakan?
Pasal 33 akan selalu tertulis dalam lembaran konstitusi. Namun hanya dengan jiwa transendental, ia bisa menjadi cahaya yang membimbing bangsa menuju masa depan yang lestari, adil, dan berkeadaban. Dan mungkin, hanya dengan itu pula, bumi bisa kembali bernapas. (***)