Fenomena hari raya memiliki kisah sendiri. Dari berbagai sisi tentu mengupas banyak perspektif berpikir sosial ekonomi dengan segumpal kompleksitasnya. Jelang lebaran misalnya, pemandangan arus mudik menjadi sorotan menarik sebagian pihak, khususnya pada kalangan pengamat sosial secara umum dan jajaran pemerintah secara khusus.
Tradisi mudik Lebaran masih mengakar kuat utamanya pada masyarakat urban. Populasi mudik pun ikut melonjak sesuai dengan perkembangan penduduk dan urbanisasi. Tahun 2024 ini, jumlah pemudik ditaksir cukup besar seiring penghapusan larangan mudik Tahun 2022.
Bahkan diprediksi tahun ini jumlah pemudik mencapai angka 193,6 juta atau berkisar 71,7 persen dari total populasi Indonesia. Angka tersebut diestimasi meningkat pesat dibanding pergerakan masyarakat pada masalah Lebaran 2023 yang hanya 123,8 juta orang.
Lonjakan besar pergerakan mudik penduduk itu dipicu oleh absennya Covid-19,
kesejahteraan ekonomi masyarakat, cuti bersama dan libur sekolah serta peningkatan kualitas maupun kuantitas infrastruktur transportasi. Terakhir situasi cuaca yang relatif mendukung, khususnya curah hujan cukup rendah.
Mengantisipasi potensi kemacetan Kemenhub sudah menelurkan kebijakan mulai dari pengaturan waktu mudik, penyelenggaraan diskon tarif transportasi massal untuk mudik lebih dini, mudik gratis, rekayasa lalu lintas, diskon tarif jalan tol, hingga pengaturan lalu lintas di daerah yang berisiko terjadi kepadatan.
Dari sisi ekonomi, momen Lebaran 2024 juga menyisakan cerita pahit tersendiri. Semula diharapkan momen lebaran tahun ini bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun realitasnya justru anomali. Konsumsi lebaran tidak sesemarak tahun sebelumnya,
Fenonema belanja kelas menengah terbatasi oleh lonjakan tajam harga bahan pangan.
Sejumlah pedagang di berbagai pusat perbelanjaan maupun pasar tradisonal mengeluh karena dagangan sepi pembeli.
Ekonom dari The Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, mengatakan konsumsi masyarakat pada periode pasca lebaran biasanya meningkat dibanding tahun sebelumnya.
Namun pada Lebaran kali ini, Indef memperkirakan konsumsi masyarakat menurun sehingga pertumbuhan ekonomi akan lebih kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Diprediksi paling rendah dalam lima tahun terakhir – jika tidak memperhitungkan periode Covid-19, ketika pertumbuhan ekonomi negara berada di angka minus.
BPS malah merilis data inflasi tahunan sebesar 3,05 persen per Maret 2024. Penyumbang utama inflasi berasal dari sektor kelompok makanan, minuman dan tembakau.
Di balik itu semua, optimisme masih menggelayut pada potensi pertumbuhan ekonomi di pedesaan, khususnya desa yang memiliki status destinasi wisata. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memprediksi pemudik mengeluarkan uang sebesar Rp 152,3 triliun selama libur lebaran.
Artinya desa-desa wisata yang berkisar 35 persen tentu bakal terimbas oleh ‘cuan’ besar lebaran. Peluang para UMKM meraup untung besar pada urat nadi desa wisata karena pemudik mengalokasi belanja kebutuhan mendasar di kampung halaman, termasuk pula belanja rekreasi.
Ancaman Spekulan Urbanisasi
Di balik hirup pikuk mudik lebaran, pemerintah pun sudah memikirkan problematika ‘bonus’ demografi pasca lebaran yaitu lonjakan urbanisasi atau imigrasi masyarakat desa ke kota. Tak jarang pemudik saat pulang justru mengajak sanak saudara ke kota untuk mengadu nasib.
Ironisnya, sebagian kaum imigran desa tidak memiliki skill atau kemampuan mumpuni, bahkan tak jarang tiba di kota justru belum ada kepastian harus bekerja di mana.
Urbanisasi pasca lebaran memang tidak sepenuhnya negatif. Satu sisi potensi mendorong pertumbuhan ekonomi seiring lonjakan populasi penduduk dan konsumen.
Namun di sisil lain bisa menimbulkan pressing sosial terhadap infrastruktur perkotaan, peningkatan kompetisi pekerjaan yang menjurus pada ancaman kemiskinan perkotaaan dan disparitas ekonomi. Sebagian pengamat menyebut fenomena sosial itu sebagai gentrifikasi.
Gentrifikasi dipahami sebagai usaha peningkatan vitalitas suatu lingkungan permukiman melalui peningkatan kualitas lingkungannya, namun tanpa menimbulkan perubahan yang berarti dari struktur fisik lingkungan permukiman.
Problematika itu tentu menjadi serius bagi Indonesia untuk memuluskan agenda pembangunan berkelanjutan atau sustainable Development Goals (SDGs) 2023. Salah satu tujuannya adalah pengentasan kemiskinan perkotaan.
Sesuai data BPS menyebutkan, angka kemiskinan nasional masih di kisaran 9,36 persen per Maret 2023. Sedangkan target RPJMN 2020-2024 menekan angka kemiskinan 6,5 – 7,5 persen.
Namun jelang akhir jabatan sebagai Presiden RI, Joko Widodo menyadari satu mimpi yang sulit terwujud adalah menekan angka kemiskinan mencapai singel digit. Terlebih ketika masa pandemi angka kemiskinan justru naik tajam hingga double digit atau 10,19 persen.
Dalam Road Map SDGs sudah menaergetkan menghapus kemiskinan hingga singel digit masih sangat kompleks. Pertimbangannya karena tingkat kemiskinan yang sudah rendah membuat kemiskinan semakin sulit untuk diturunkan.
Ada kondisi di mana kelompok termiskin lebih sulit keluar dari jerat kemiskinan karena berada dalam keadaan yang jauh lebih rumit dari sekadar ketidakmampuan finansial seperti: tempat tinggal yang terpencil, akses yang terbatas ke layanan kesehatan, pendidikan, sanitasi layak, juga listrik.
Jadi kebijakan target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) PPN/Bappenas 2024 ini pengurangan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem. Itu salah satu target yang ingin diwujudkan. (***)
Penulis : Nur Qalbi Hafidzah
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)