Gagal Mengolah Sentimen Pemilih, Petahana Potensi Tumbang di Pilkada

0
1623
Naslim Sarlito Alimin

Kiprah The Haluoleo Institute (THI) sebagai salah satu lembaga survei politik di Sultra sudah tak diragukan lagi. Kualitas hasil survei maupun quick count-nya sudah dapat menyamai tingkat akurasi hasil sejumlah lembaga survei bertaraf nasional. Selama melakoni aktivitas survei, THI sendiri memberikan catatan pinggir seputar perubahan prilaku pemilih dalam pilkada. Lebih jauh soal itu, berikut wawancara khusus jurnalis mcnewsultra.id, Juhartawan dengan Direktur Eksekutif THI, Naslim Sarlito Alimin beberapa hari lalu.

Tiga petahana pilkada tahun ini kalah melawan penantang. Kecenderungan itu terjadi karena perubahan paradigma pemilih atau bagaimana ?

Banyak faktor sebenarnya. Angka signifikan di 2020 itu jauh lebih sedikit atau menurun dibanding Pilkada 2015. Kekalahan incumben sesungguhnya sudah sering terjadi,

Kok bisa kalah, kan kesiapan sumber dayanya lebih mumpuni dibanding penantangnya ?

Kalau kita melihat dari beberapa hal yang bersifat mendasar, secara kasat mata iya petahana itu melimpah sumber daya dan jaringan kerjanya tidak terbatas. Cuma memang ada hal yang dianggap tidak memuaskan publik. Nah itu menjadi catatan pemilih. Kami sebut like and dislike sebenarnya.

Kaitannya dengan pilkada baru-baru ini sesuai hasil survei THI?

Baru-baru THI melakukan survei di wilayah Muna, Konawe Selatan dan Wakatobi. Kalau melihat angka surveinya ketiga petahana cukup menjanjikan. Muna itu surveinya di atas tanggal 20 Oktober 2020, lalu Konsel dan Wakatobi di sekitar November. Dari ketiganya yang meleset hanya Wakatobi.

Tetapi kalau kita berkaca pada angka survei , Kolaka Timur yang awalnya 65 persen itu saja bisa berbalik, lalu pasangan Endang – Wahyu Ade Pratama yang semula hasil survei cuma 14-16 persen lawan 50 persen, ujungnya malah masuk MK.

Harus dipahami survei itu berbeda dengan quick count. Survei tu parameternya opini dan quick count indikatornya dari hasil penghitungan suara di TPS.

Bagaimana anda menjelaskan fenomena ketimpangan hasil survei dan fakta lapangan secara ilmiah ?

Sesungguhnya itu sangat terkait dengan satu jaringan kerja dan pemilihan figur lapangan. Kan orang itu boleh jadi suka terhadap kandidatnya, tetapi tidak suka pada tim suksesnya.

Nah kebanyakan di incumben ini justru terjebak euforia karena merasa kuat, besar, banyak duit, kadang-kadang membuat lupa diri. Yah alamiah lah kalau terjadi pada diri manusia. Lalu banyak pengagum sehingga sulit membedakan mana itikad baik dan mana yang tidak.

Jadi ada beberapa catatan mungkin yaitu pertama, komunikasi politik terhadap publik. Begini yah, pemilih itu kita ibaratkan gadis, kalau ndak diajak ngomong dia marah, kalau tidak dikunjungi dia ngambek.

Kita sama-sama tahu intensitas penggunaan teknologi makin terbuka arus informasinya. Kecerdasan sebagian pemilih juga sudah jauh di atas rata-rata karena baik program maupun figur sudah bisa diakses.

Kalau begitu kondisinya, mana yang perlu diprioritaskan seorang figur, program atau penguatan personalitynya ?

Dalam konteks calon dua-duanya punya keterkaitan erat kayak dua sisi koin. Tetapi kalau kita melihat lebih jeli sisi figuritas menentukan pilihan seseorang. Kan kita ini subyektivitasnya ada. Kadang program banyak tidak terlaksana tapi karena figurnya baik, masih terpilih oleh sebagian pemilih.

Terus ada calon aspek figuritasnya kurang disukai, programnya pun banyak yang tidak terealisasi kalau dari konteks petahana, yah susah terpilih. Figuritas sangat kental karena bisa dihitung berapa banyak pemilih akademik kita. Berarti pilihannya ke pemilih pragmatis.

Berarti perubahan prilaku pemilih karena efek personality calon ?

Iya, karena kadang keberhasilan program tidak bisa menjadi elementary khusus, meskipun dalam teori ibarat dua sisi koin tidak terpisahkan dengan figuritas. Jadi PR untuk figur-figur kepala daerah kedepan seperti saya katakan tadi, benahi pola komunikasinya.

Semakin baik komunikasinya maka peluang membentuk opini masyarakat yang lebih baik. Minimal orang masih memaafkanlah kalau programnya belum memuaskan publik.

Misalnya, figur mengakui program tidak terlaksanakan dengan baik karena dampak Covid-19. Sebagian alokasi anggaran bergeser. Komunikasi itu bisa menciptakan empati pada sebagian pemilih.

Pilkada 2020 ini bila kita lihat sebenarnya parameter realisasi janji politik tidak terlalu mendasar dalam pikiran pemilih. Kalau mau jujur disandarkan pada parameter tersebut, kita hitung saja berapa janji politik program yang terealisasi. Hanya saja mengukurnya perlu pakai kajian akademik. Nah sebagian pemilih memilih cara simpel berpikir “Yang penting orangnya baik”.

Dari sisi tren pilihan politik, bagaimana perbedaan masyarakat perkotaan dan pedesaan dari sisi kacamata THI ?

Kalau di perkotaan akses teknologi dan informasi sudah cukup terbuka luas. Tetapi beda soal kalau di wilayah kabupaten. Kami kasih contoh Wakatobi. Daerah itu sudah pulau tersendiri , kecamatannya juga berupa pulau. Otomatis signal tidak terlalu bagus, akses internet praktis terbatas.

Contoh kecil lagi, Binongko itu listriknya hanya dari pukul 18.00 – 06.00 wita. Tidak sampai 24 jam listrik menyala. Itu baru listrik, bagaimana dengan akses internet yah bisa dilihatlah sebagian wilayah Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Buton Utara dan Muna Barat.

Perbedaannya tentu terletak pada akses informasi. Kita tahu kepala daerah ini kan mainannya di media, hampir semua aktivitasnya diserap media. Lalu timses menshare ke sosial media. Nyaris semua pembentukan opininya berbasis teknologi.

Wilayah yang miskin akses internet sudah pasti berharap ada kontak fisik. Jadi kalau bupati jarang berkunjung pasti opininya terbentuk sesuai kenyataan yang dihadapi masyarakat pedesaan atau terisolir.

Indikator lain selain akses internet, perbedaan siginifikan dari sisi mana lagi menurut THI ?

O Iya, masyarakat pedesaan kita dibentuk dari sisi pandang ekonomi. Sentimen masyarakat desa cenderung berbeda dengan masyarakat kota. Di kota itu sentralistik perdagangan, pertumbuhan ekonomi dan sebagaiya, maka cenderung lebih dewasa melihat dan menyikapi sebuah keadaan.

Tetapi kalau di desa beda lagi, begitu listrik tidak bagus maka mereka langsung bila bupatinya tidak bagus kerjanya. Mereka tidak peduli atau mungkin tidak paham bahwa soal listrik bukan kewenangan daerah.

Begitu pun soal infrastruktur, mana jalan kabupaten, provinsi dan nasional sama sekali kadang tidak ada dhikotomi. Semua opini terbentuk bahwa itu kegagalan sentimennya diarahkan ke kepala daerah.

Contoh kecil lagi masalah kesehatan, ada warga tidak bisa terlayani di rumah sakit karena belum memiliki fasilitas BPJS. Lalu karena kebijakan kepala dinas sosial atau kesehatan pakai dompet pribadi misalnya tuntaskan biayai rumah sakit.

Yang terjadi warga itu berteriak kita masuk rumah sakit tidak dilayani. Padahal ada mekanisme negara bisa mengeluarkan anggaran kalau warga bersangkutan memenuhi syarat. Belum lagi kerap datang ke rumah sakit sudah detik-detik sekarat. Begitu telat dilayani, yang salah pasti pemerintah.

Nah itulah kenapa incumben pada satu perspektif tertentu sentimennya lebih banyak menerima jeleknya ketimbang bagusnya. Parameter lainnya, derajat kedewasaan politik kita belum setara negara maju lainnya. (***)

 

Komen FB

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini